"Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat" ; Visi Indah yang Implementasinya Kini Digugat Pemilik Negeri ?

Oleh: H. Dede Arief Rohaedi, S.Pd., M.M. | Ketua MGMP Pendidikan Pancasila MTs Kabupaten Majelengka

 

Tak dapat disangkal dan tak perlu diperdebatkan bahwa, fakta Indonesia merupakan negara besar yang teramat kaya dengan sumber daya alam, baik hayati maupun mineral. Tidak ada negara yang se-kaya, se-mewah Indonesia bila menyoal kekayaan alamnya. Sehingga bila ada orang bertanya, “ sumber daya alam apa yang Indonesia punya ?”  Maka artinya, orang dengan pertanyaan semacam ini, ia kurang, atau tidak mengenal Indoensia. Lalu, pertanyaan apa yang seharusnya dilontarkan kepada Indonesia ?  “Apa sumber daya alam yang tidak dimiliki Indonesia ?” inilah pertanyaan yang pas untuk negara kita. Walaupun terkesan agak “ultranasionalis”, namun hal ini menggambarkan begitu kayanya Indonesia. Pertanyaan retoris yang menggambarkan bahwa hampir semua sumber daya alam mineral/barang tambang terdapat di bumi Indonesia.


Telah banyak hasil riset yang menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kekayaan alam mineral yang sangat melimpah dan beragam, menjadikannya pemain kunci dalam industri pertambangan global. Komoditas mineral utama meliputi nikel, batu bara, tembaga, bauksit, dan timah, dengan cadangan beberapa mineral terbesar di dunia. 


Indonesia dikenal sebagai salah satu produsen utama untuk berbagai mineral berharga. Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan sumber terkait lainnya, berikut adalah rincian kekayaan alam mineral utama di Indonesia: 

  • Nikel: Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, dengan sumber daya mencapai sekitar 17,3 miliar ton dan cadangan terbukti sekitar 55 juta metrik ton, atau sekitar 42% dari cadangan global. Produksi bijih nikel pada tahun 2024 mencapai 215 juta ton.
  • Batu Bara: Komoditas tambang terbesar di Indonesia ini memiliki sumber daya sekitar 148,7 miliar ton dan cadangan 39,56 miliar ton (data per Juli 2020).
  • Tembaga: Indonesia termasuk dalam sepuluh besar produsen tembaga global, dengan sumber daya sekitar 640 juta ton.
  • Bauksit: Negara ini juga memiliki sumber daya bauksit yang signifikan, sekitar 927 juta ton, dan termasuk dalam produsen bauksit teratas dunia.
  • Timah: Indonesia merupakan salah satu produsen timah terbesar secara global, dengan sumber daya sekitar 1,2 miliar ton.
  • Emas dan Perak: Indonesia juga kaya akan endapan emas dan perak, tersebar di berbagai wilayah (terutama yang terbesar terdapat di Pulau Papua).
  • Mineral Kritis dan Langka Lainnya: Selain mineral di atas, terdapat potensi mineral kritis seperti kobalt dan logam tanah jarang, dengan sumber daya logam tanah jarang yang teridentifikasi mencapai setidaknya 72.579 ton di beberapa wilayah.  


Bumi Indonesia juga memiliki kandungan migas yang cukup signifikan, dimana dari 128 cekungan migas yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, baru 20  cekungan saja yang sudah diekplorasi (sumber Kementerian ESDM dan SKK Migas).


Belum lagi bila menghitung kekayaan alam berupa luasan hutan yang didalamnya terdapat berbagai jenis tanaman dan pohon (kayu) yang bernilai ekonomi sangat tinggi. Demikian pula sumber daya air berupa sungai dan lautan, itu bisa membuat kita lebih merasa bangga dengan fakta bahwa negara ini adalah negara maritim, negara kepulauan yang sebagian besar wilayanya adalah perairan.


Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia memiliki garis pantai sekitar 99.083 km, (Survei dari Badan Informasi Geospasial -BIG) menjadikannya negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia. Pantai Indonesia sangat beragam, mulai dari hutan bakau di Kalimantan hingga terumbu karang di Papua. 


Tentu konsekuensinya adalah Indonesia berpotensi untuk menjadi negara kaya dan makmur yang berbasis kekayaan sumber daya air/laut.


Data-data ini tentu membanggakan kita semua sebagai rakyat Indonesia. Sehingga memunculkan harapan besar bahwa kemudian hari kita dapat menjelma menjadi negara kaya dengan rakyat yang dapat menikmati kesejahteraan dan kemakmuran pula.


Usaha-usaha pembangunan nasional yang masif yang sudah dan sedang dijalankan oleh pemerintah tentu mengarah kepada usaha pencapaian salah satu  cita-cita nasional , yakni mewujudkan kehidupan rakyat Indonesia yang adil dan makmur.


Landasan konstitusioanl bagi upaya negara menjalankan fungsi kesejahteraan telah ditegaskan dalam konstitusi kita, pada Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 ; "Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."


Ya sesuai dengan prinsip pemerintahan republik ("res publica" yang berarti "urusan publik" atau "urusan rakyat") yang telah dipilih oleh Indonesia, maka maknanya adalah Indonesia sebagai sistem pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan untuk kepentingan bersama, bukan oleh monarki (raja/ratu) turun-temurun, melainkan melalui perwakilan yang dipilih oleh rakyat. Intinya, republik adalah negara yang dikelola berdasarkan hukum untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan pribadi, keluarga penguasa, sekelompok pengusaha (korporasi) maupun kelompok atau golongan tertentu.


Namun sebagaimana diteorikan oleh Hans Kelsen, bahwa di dunia ini selalu ditemukan : Das-Sollen adalah “suatu keadaan yang diharapkan” atau “yang seharusnya” (norma, termasuk didalamnya adalah norma konstitutif). Sebaliknya terdapat pula Das-Sein dimaknai sebagai “realita kehidupan manusia” atau “keadaan nyata” (fakta) yang terjadi.  Dititik diantara keduanya inilah terjadi kesenjangan atau bahkan paradoks. Dimana situ terjadi ketidak-selarasan, bahkan saling bertentangan tajam antara apa yang seharusnya dicapai (menjadi visi) dengan apa yang terjadi atau realitas.


Das sollen : Idealnya  adalah, dengan negara sebagai regulator utama yang menguasai sumber-sumber daya alam dan mendistribusikan keuntungan sebagai bentuk pemerataan kesejahteran, kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia, apalagi (terutama) secara proporsional kepada rakyat di daerah-daerah kaya sumber daya alam dan mineralnya. Bagi seluruh masyarakat pada daerah-daerah semacam ini sudah sepatutnya mendapatkan benefit dari “kemewahan” sumber daya alam dan mineral yang ada di daerahnya.


Tetapi, ternyata korelasi antara daerah yang kaya akan kekayaan alam dan mineral melimpah dengan tingkat kesejahteraan rakyatnya bersifat kompleks dan sering kali paradoks. Meskipun sumber daya alam (SDA) memiliki potensi besar untuk meningkatkan pendapatan dan pembangunan, kenyataannya banyak daerah kaya mineral justru menghadapi tingkat kemiskinan yang tinggi dan cenderung masih terbelakang.  Kesejahteraan, kemakmuran dan kemajuan masih menjadi barang langka bagi banyak anggota masyarakat di daerah seperti ini.


Asumsi kekayaan alam hayati dan mineral seharusnya membawa kesejahteraan diantaranya  melalui:

  • Peningkatan pendapatan negara/daerah: penerimaan dari pajak, royalti, dan ekspor dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dan devisa negara.
  • Pertumbuhan ekonomi lokal: aktivitas pertambangan dapat mendorong pertumbuhan industri di sekitar lokasi tambang, membuka lapangan kerja, dan mengembangkan infrastruktur lokal.
  • Penyediaan bahan baku dan energi, untuk industri manufaktur dan sumber energi yang mendukung pembangunan ekonomi nasional. 


Das sein; Data di Indonesia menunjukkan bahwa banyak provinsi dengan kekayaan tambang yang melimpah (seperti Sumatra, Papua, Sulawesi Tenggara, dan Maluku) masih termasuk dalam daftar daerah dengan tingkat kemiskinan tertinggi.


Dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2025, sepuluh provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia secara mencolok berimpit dengan wilayah penghasil sumber daya alam (SDA) tambang terbesar, seperti nikel, batubara, dan emas. Berdasarkan Profil Kemiskinan BPS Maret 2025, tingkat kemiskinan nasional 8,47% (23,85 juta jiwa), dengan penurunan tipis dari 8,57% September 2024.


Namun, tren ini mandek di wilayah timur, di mana provinsi termiskin didominasi Papua dan sekitarnya.(Malika dwiana,siagaindonesiaid.,desember2025)


Fenomena ini terjadi karena beberapa faktor : 

  • Tata kelola yang buruk dan korupsi : Pengelolaan pendapatan dari SDA yang tidak transparan dan rentan terhadap korupsi sering kali membuat kekayaan tersebut tidak sampai ke masyarakat luas, melainkan hanya dinikmati oleh segelintir oknum penguasa dan pengusaha.

Kasus korupsi di sektor pertambangan Indonesia sangat banyak dan beragam, melibatkan pejabat daerah (gubernur, bupati) hingga pejabat pusat, serta korporasi, seperti kasus korupsi nikel di Blok Mandiodo (Konawe Utara) yang melibatkan PT Antam dan eks Dirjen Minerba, kasus timah PT Timah Tbk yang merugikan negara Rp271 triliun, hingga kasus suap izin usaha pertambangan (IUP) batu bara di Bengkulu dan Tanah Bumbu, dengan modus seperti manipulasi izin, suap, hingga eksploitasi hutan ilegal, menunjukkan tata kelola yang buruk dan kerugian negara masif. 

  • Ketimpangan dan konflik sosial: Aktivitas pertambangan sering kali menimbulkan konflik lahan dan sosial dengan masyarakat adat atau lokal. Keuntungan ekonomi sering kali tidak merata, menciptakan jurang kesejahteraan yang lebar antara pekerja tambang/elit lokal dan masyarakat umum.
  • Kerusakan lingkungan: Sumatera dilanda bencana banjir dan tanah longsor besar pada akhir November dan berlanjut hingga Desember 2025, yang memengaruhi tiga provinsi: Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menyebabkan kerusakan parah dan korban jiwa dalam skala besar, dengan data per 16 Desember 2025 mencatat setidaknya 1030 orang meninggal dunia dan 205 orang hilang (laporan BNPB),  menjadi fakta terkini dampak kerusakan lingkungan (hutan) akibat eksploitasi yang tak terkendali, ugal-ugalan.

Eksploitasi mineral yang tidak dikelola dengan baik niscaya menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan, merugikan mata pencaharian tradisional masyarakat (misalnya, pertanian atau perikanan) dalam jangka Panjang dan tentu saja merusak infrastruktur yang sudah terbangun bertahun-tahun lamanya.

  • Kurangnya pembangunan sumber daya manusia: Pendapatan besar dari tambang tidak selalu diinvestasikan kembali dalam pembangunan sumber daya manusia (pendidikan dan kesehatan) atau infrastruktur bagi dua bidang terkait yang berkelanjutan, sehingga daerah tersebut tetap tertinggal, sementara sumber daya kian menipis dan akhirnya habis. 

Sebagai contoh, rerata lama sekolah di daerah Papua pada tahun 2025, menjadi salah satu yang terendah di 38 provinsi di Indonesia. Padahal provinsi ini memiliki pertambangan emas terbesar di Tanah Air.

 

Keadaan tidak baik-baik saja seperti ini, memunculkan ketidak-puasan dari masyarakat di beberapa daerah yang memicu unjuk rasa masyarakat di beberapa daerah, bahkan beberapa diantaranya berlangsung ricuh, anarkis. Dan yang mengkhawatirkan adalah masih berlangsungnya gerakan-gerakan yang bersifat anarkis separatis. Dahulu pada masa orde baru, ada Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kini ada KKB (kelompok  kriminal bersenjata) di Papua, yang merupakan anasir-anasir dari Gerakan papua merdeka (OPM), yang masih terus intens melakukan serangan-serangan yang menganggu kamtibmas. Tentu hal ini sangat mengancam stabilitas nasional dan keutuhan bangsa-negara Indonesia.


Lalu apa yang harus kita lakukan untuk membuat keadaan masyarakat menjadi lebih baik ?


Merujuk pada amanah konstitusi pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945, bahwa artinya kemakmuran, kesejahteraan rakyat, tak terkecuali mereka yang di daerah kaya mineral sangat bergantung pada negara dalam menjalankan fungsi kesejahteraan (social service state). Dibutuhkan sekali kualitas tata kelola pemerintahan yang sehat bersih dari korupsi, kolusi dan Nepotisme.


Maka dari itu, bangsa ini harus solid, baik pada tataran akar rumput, maupun dikalangan elit pemerintah untuk mengganggap bahwa korupsi harus menjadi musuh bersama   (public enemy # 1) yang wajib hukumnya, dimusnahkan, dihancurkan !


Penegakkan hukum yang setegak-tegaknya harus pula menyertai-berdampingan setia dengan gerakan memusnahkan korupsi ini.


Prinsip transparansi menjadi faktor sangat menentukan dalam pembagian manfaat lebih yang adil dan proposrsional bagi setiap daerah di Indonesia. Tanpa pengelolaan yang bijak, kekayaan alam dan mineral justru dapat menjadi faktor pembawa keburukan yang memperparah kemiskinan dan ketimpangan sosial di negeri ini.


Jangan pula dilalaikan investasi kolosal dalam pembangunan sumber daya manusia melalui upaya menyelenggarakan pendidikan yang murah (bila tidak, atau belum bisa gratis sepenuhnya), namun berkualitas tinggi yang dapat diakses oleh setiap lapisan warga masyarakat Indonesia. Sehingga pada titik tertentu dapat melahirkan generasi cerdas, terdidik. Sebab hanya pada masyarakat cerdas terdidiklah, muncul para calon berkualitas yang akan memegang kekuasaan negara, pelaksana kedaulatan rakyat, yang berkualitas pula. Dan calon berkualitas hanya bisa muncul dari rakyat pemilih, pemegang kedaulatan tertinggi, yang cerdas dan berkualitas pula. Masyararakat cerdas terdidik, melahirkan aritokrasi, atau demokrasi yang sehat-sejati. Sebaliknya, oklokrasi, mobokrasi dan oligarkhi  lahir dari mayoritas rakyat yang tak terdidik dan terbelenggu kemiskinan dan keterbelakangan.


Harapannya, upaya-upaya bersama ini kemudian akan mewujudkan keadaan Indonesia yang sejahtera, makmur, maju dalam suasana berkeadilan. Sehingga tak ada lagi “gugatan” rakyat, sebagai pemilik mutlak negeri, ini pada visi indah pasal 33 Ayat 3 UUD 1945.

Jayalah Bangsa-Negaraku !

 

Salam dari Tanah Subur, 15 Desember 2025.

Dedearief Rohaedi, guru Pendidikan Pancasila MTsN 10 Majalengka

 

Lebih baru Lebih lama